Seminar Nasional yang dilaksanakan oleh Program Studi Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara yang bertemakan “Islam Minoritas di Sumatera Utara”. Seminar Nasional dilaksanakan pada hari Jum’at, 19 Maret 2021 yang bertemakan Islam Minoritas di Sumatera Utara. Kegiatan Seminar Nasional ini merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada mahasiswa Sejarah Peradaban Islam terhadap Islam Minoritas di Sumatera Utara. Narasumber yang dihadirkan pada Seminar Nasional tersebut adalah Dr. Ali Muhtarom, M.Si, Dr. Nispul Khoiri, M.Ag, Dr. Sori Monang, M.Th.
Kaprodi Sejarah Peradaban Islam, Ibu Yusra Dewi Siregar dalam sambutannya mengatakan bahwa ”kegiatan Seminar Nasional yang dilaksanakan secara langsung tersebut menarik banyak minat mahasiswa untuk menghadirinya. Hal ini dikarenakan kegiatan seacam ini selama satu tahun sebelumnya hanya dilakukan secara daring/ secara virtual. Maka dari itu, Prodi Sejarah Peradaban Islam memfasilitasi kegiatan tersebut dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten dibidangnya. Selain itu, Dekan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Negeri Sumatera Utara memberikan sambutannya terhadap kegiatan yang dilakukan oleh prodi Sejarah Perdaban Islam karena sangat meriah dan minat dari mahasiswa untuk mendapatkan informasi terkait kegiatan Seminar tersebut. beliau juga membuka secara langsung Seminar Sejarah yang dilaksanakan oleh Prodi Sejarah Peradaban Islam. Yang terbesit di kepala kita jika mendengar kata minoritas ialah sekelompok orang yang sejarahnya tidak tertulis, kondisi keberadaannya tidak dikenal, cita-cita dan aspirasinya tidak diapresiasi.
Salah satu ciri keyakinan keagamaan adalah kuatnya ikatan emosional dengan kelompok dan tradisinya. Tradisi keagamaan sebagai bagian dari simbol agama meneguhkan eksistensi agama dalam kancah sosial, politik, maupun budaya. Perjuangan simbolik akan terus digali dan diupayakan oleh penganut agama dari akar-akar historisideologis maupun ajaran suci yang disebut the politics of meaning. Peran pengaruh untuk meneguhkan eksistensi agama inilah yang berpeluang besar memunculkan konflik kepentingan yang pada akhimya akan membawa agama pada posisi sating bertabrakan, baik itu antar kelompok agama atau berbagai kelompok dalam suatu agama sendiri.
Mayoritas penduduk Muslim di Indonesia sejak lama menganut paham Ahlussunnah wal jamaah, meskipun ada pendapat sejarawan bahwa kaum Syiah ikut berperan dalam pengembangkan Islam di Nusantara. Ulama-ulama yang mengembangkan Islam di kawasan ini merupakan ulama-sufi yang berafiliasi dengan mazhab Sunni, terutama Syafi’iyah dan Asy‘ariyah. Sebagian masyarakat Muslim Indonesia merupakan pengikut organisasi Al Jam’iyatul Washliyah, Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, dan Persis. Indonesia sebagai negara Pancasila yang menjamin kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinan umat beragama memungkinkan berbagai mazhab, kepercayaan, dan agama yang tidak diakui di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang.
Keberadaan aliran-aliran minoritas terus tumbuh dan berkembang di tengah kelompok Sunni yang merupakan kelompok mayoritas di Indonesia. Menurut media massa, aliran yang dinilai sesat telah lebih dari 250 aliran, dan 50 aliran diantaranya berkembang di Jawa. Berbagai organisasi Islam seperti Al Washliyah, NU, Muhammadiyah, dan MUI ditambah para ulama secara individu telah banyak menghabiskan waktu untuk meluruskan dan mengatasi masalah ini.
Tema mengenai muslim minoritas belum banyak dikaji oleh para peneliti. Berbeda dengan kajian minoritas yang objek studinya diarahkan minoritas non-muslim atau paham keagamaan yang meskipun dalam ranah keyakinan Islam, namun dianggap tidak sejalan dengan paham Islam mayoritas masuk dalam kategori “minoritas”. Sebelum masuk pada wilayah pembasan mengenai tema ini, perlu digarisbawahi bahwa istilah minoritas maupun mayoritas, keduanya masih menyisakan makna dalam bentuk penguasaan dan hegemoni antara pihak tertentu yang ditempatkan pada posisi terancam dan merasa rendah diri (inferior) bagi yang minoritas. Pada posisi sebaliknya, bagi kelompok mayoritas akan merasa lebih mendominasi dan serba menguasai pengaturan sistem sosial, termasuk dalam intervensi terkait urusan keyakinan, sehingga bentuk dominasi ini melahirkan sifat menang sendiri (superior) bagi kelompok mayoritas.
Di samping itu, perdebatan antara minoritas dan mayoritas ini juga masih hangat dibicarakan hingga saat ini karena dalam konteks siapa atau kelompok mana yang dianggap minoritas dan mayoritas, dalam hubungannya dengan paham keagamaan sulit untuk dijelaskan. Jika pemaknaan minoritas atau mayoritas dikaitkan dengan ukuran kuantitas, sudah jelas kelompok masyarakat yang memiliki jumlah pengikut dalam institusi keagamaan yang lebih banyak adalah mayoritas. Sebaliknya ketika jumlah pengikutnya sedikit, maka kelompok tersebut adalah minoritas.
Dalam Seminar tersebut juga mengkomparasi antara Islam di Bali dan Islam di Sumatera Utara. Seperti yang dikemukakan oleh Ali Muhtarom terhadap Islam di Bali bahwa secara umum umat muslim di Bali merasa aman dan terlindungi dalam melaksanakan ibadah yang dilakukan walaupun di tengah-tengah kelompok mayoritas. Pemerintah daerah dan pemerintah provinsi juga terus memberikan pelayanan yang baik terhadap kaum Muslim. Perkembangan dakwah Islam di Bali mengalami peningkatan, terutama di tiga kabupaten yaitu kabupaten Karangasem, Jembrana, dan Buleleng serta hampir diseluruh Bali pada saat ini bisa dijumpai lembaga pesantren.
Sedangkan menurut pemaparan bapak Nispul Khoiri terhadap Islam di Sumatera Utara bahwa “Agama Islam di Sumut adalah Mayoritas. Islam 63,36 %, Kristen 33, 99 %, Protestan 26,66 %, Katolik 7,33 %, Budha 2,43 %, Konghucu 0,11 %, Hindu 0,10 %, Parmalim 0,01 %. Jumlah Penduduk terbesar setelah Jabar, jatim, jateng dan jakarta. Sumut lebih kurang 14.56 Juta Jiwa (2019). Agama islam di Minoritas di Tersebar di Berbagai Kabupaten kota di Sumut seperti Kab. Nias, Nias Utara, Nias Barat, Siantar, Taput, Tobasa, Karo, Dairi, Humbahas, Pakpak Barat, Samosir dll. Sedangkan faktor yang mendasari Islam minoritas di Sumatera Utara adalah Penyebaran Islam yang terbatas dan saling menghargai tidak ada pemaksaan. Dominasi wilayah mayoritas cukup kuat dalam semangat keberagamaan. Ketidak adilan yang terjadi dalam masyarakat. Terbatasnya pelayanan dan perlindungan kepada pemeluk agama. Akan tetapi dari beberapa kasus yang terjadi di dua daerah tersebut menandakan bahwa, ternyata sikap moderat masyarakat terhadap keberagamaan masih sangat tinggi, walaupun hidup di tengah-tengah mayoritas.